Siapa yang tidak kenal Sudono Salim atau Liem Soei Liong (92 tahun), usahawan sukses kelas dunia? Ia mendirikan Grup Salim. Grup ini, antara lain melahirkan Indofood, Indomobil, Indocement, Indosiar, Bogasari, Bank Central Asia, dan lain-lain. Pria yang akrab disapa Om Liem ini juga pernah menduduki peringkat pertama sebagai orang terkaya di Indonesia dan Asia. Bahkan, ia sempat masuk daftar "100 Orang Terkaya di Dunia". Apa rahasianya, hingga bisa jadi pengusaha besar?
Pertama, Om Liem punya bakat dan naluri bisnis yang luar biasa. Kedua, ia mengembangkan sifat-sifat ini: pekerja keras, pantang menyerah, dan tekun! Katanya, kepada harian "Kompas" di Singapura: jika ingin sukses, jangan berpangku tangan saja. Semasa muda, bekerjalah habis-habisan. Bersemangatlah dan efektif dalam menggunakan waktu. Jangan cuti lama-lama, jangan selalu jalan-jalan, dan jangan tidur cepat! Jangan pula mudah menyerah pada kesulitan.
Bagaimana kalau gagal dalam usaha? Jangan putus asa. Bangun lagi dengan kiat baru! Begitu seterusnya hingga Anda menemukan formula paling pas untuk sukses. Kalau Anda mudah putus asa, sebaiknya jadi pekerja saja, jangan jadi usahawan...!
Selain itu, jadilah pengusaha yang memiliki karakter yang baik. Orang yang sukses dengan cara curang, pasti akan segera gulung tikar karena orang-orang/publik menolaknya. Oleh karena itu, lebih baik untung lebih sedikit, namun diusahakan secara jujur dan ikhlas. Kita bisa tidur lebih nyenyak dan tidak punya beban.
"Memang benar, seorang pengusaha harus banyak akal," kata Om Liem. "Tapi, jangan curang. Jangan ambil milik orang lain."
Terakhir, Om Liem mengingatkan: rajinlah membantu fakir miskin. Tujuannya, agar jiwa kita terasah untuk selalu berbagi.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sudono_Salim
Sudono Salim (Liem Sioe Liong)
Sudono Salim (Liem Sioe Liong), Pernah Menjadi Orang Terkaya Asia
Dia pun memilih lebih lama tinggal di Singapura, setelah rumahnya Gunung Sahari Jakarta dijarah dan diobrak-abrik massa reformasi. Kerusuhan reformasi 13-14 Mei 1998, itu tampaknya membuat Oom Liem trauma tinggal di Indonesia.
Walaupun kadang kala dia masih datang ke Indonesia, tapi hampir tidak pernah lama. Semua bisnisnya di Indonesia dikendalikan oleh anaknya Anthony Salim. Di bawah kendali Anthony Salim, belakangan kerajaan bisnisnya bangkit kembali dan tak mustahil akan kembali menjadi terkuat di Indonesia.
Pada tahun 1969, Oom Liem bersama Sudwikatmono, Djuhar Sutanto dan Ibrahim Risjad, yang belakangan disebut sebagai The Gang of Four, mendirikan CV Waringin Kentjana. Oom liem sebagai chairman dan Sudwikatmono sebagai CEO. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan, ekspor kopi, lada, karet, tengkawang dan kopra serta mengimpor gula dan beras.
The Gang of Four ini kemudian tahun 1970 mendirikan pabrik tepung terigu PT Bogasari dengan modal pinjaman dari pemerintah. Ketika pertama berdiri, PT Bogasari berkantor di Jalan Asemka, Jakarta dengan kantor hanya seluas 100 meter.
Kemudian tahun 1975 kelompok ini mendirikan pabrik semen PT Indocement Tunggal Perkasa. Pabrik ini melejit bahkan nyaris memonopoli semen di Indonesia. Sehingga kelompok ini sempat digelari Tycoon of Cement. Setelah itu, The Gang of Four ditambah Ciputra mendirikan perusahaan real estate PT Metropolitan Development, yang membangun perumahan mewah Pondok Indah dan Kota mMandiri Bumi Serpor Damai.
Selain itu, Oom Liem juga mendirikan kerajaan bisnis bidang otomotif di bawah bendera PT Indomobil. Bahkan merambah ke bidang perbankan dengan mendirikan Bank Central Asia (BCA) bersama Mochtar Riyadi. Belakangan Mochtar Riady membangun Lippo Bank.
Ketika itu, Oom Liem pernah jadi orang terkaya di Indonesia dan Asia. Serta masuk daftar 100 orang terkaya dunia.
Sumber : tokohindonesia.comSUDONO SALIM
Di cakrawala ekonomi dan bisnis Indonesia, nama Liem Sioe Liong sudah menjadi legenda. Banyak yang lupa: hampir setengah abad yang lalu, pemuda perantau dari Futsing, Hokkian, Cina Selatan, itu memulai upayanya dengan magang pada seorang paman yang berdagang jagung, beras, kedelai -- antara lain.
Lahir sebagai Lin Shao-liang, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie, yang sudah mendarat di Jawa sembilan tahun lebih awal. ''Dua tahun pertama di Indonesia amat berat,'' tutur Shao-liang, yang belakangan dikenal juga dengan nama Sudono Salim.
Ketika Jepang datang, ia mulai berdagang minyak kacang kecil- kecilan di Kudus, Jawa Tengah. Kemudian mencoba nasib sebagai penyalur cengkih di kota sigaret kretek itu. Lalu, datanglah nasib baik serentak dengan saat pecahnya Revolusi 1945. Liem membantu Republik, yang membutuhkan banyak dana melawan Belanda.
Tetapi, ketika Jepang menyerah, ia sempat disrempet musibah. Berkarung-karung uang Jepang miliknya mendadak dinyatakan tidak laku, karena pemerintah menerbitkan uang baru. Ketika itu, tiap orang menerima satu rupiah uang baru tadi. ''Keluarga saya delapan orang, jadi dapat delapan rupiah, wah, edan,'' katanya mengenang.
Liem lalu mengubah taktik dagangnya. ''Bisnis itu tidak boleh atas dasar uang, tapi harus atas dasar barang,'' ia seperti memberi nasihat. Sejak itu pula ia lebih memusatkan usaha diversifikasi. Toh, ia merasa tidak bisa bergerak lincah di zaman Bung Karno. ''Dulu dagang susah, orang banyak bicara,'' katanya. ''Tapi sejak Orde Baru, dipimpin oleh Presiden Soeharto, saya ambil keputusan: apa yang harus dilakukan sebagai orang dagang.'' Dengan Pak Harto, Liem mengaku baru kenal setelah 1950-an, di Semarang.
Kini, bos perusahaan induk Liem Investors di Hong Kong, dan PT Salim Economic Development Corporation (SEDC) di Jakarta, itu sering disebut sebagai ''pengusaha terkaya nomor enam di dunia''. Jumlah hartanya mengalahkan keluarga Rotschild dan Rockefeller. Pada 1984, kekayaan kelompok ini ditaksir sekitar US$ 7 milyar. Artinya, sama dengan jumlah uang yang beredar di Indonesia ketika itu yang, menurut beberapa sumber, meliputi sekitar Rp 7 trilyun.
Liem pindah ke Jakarta pada 1951, dan mulai mengembangkan usahanya. Mula-mula ia mendirikan pabrik sabun, kemudian pabrik paku, ban sepeda, pengilangan karet, kerajinan, dan makanan. Ia juga bergerak di bidang pengusahaan hutan, bangunan, perhotelan, asuransi, perbankan, bahkan toko pakaian. Kunci sukses baginya adalah jasa. ''Kalau jasa itu jalannya betul, otomatis bisa jual lancar,'' katanya, dalam bahasa Indonesia yang tetap patah-patah.Namun, Liem keberatan usahanya dikatakan menerobos ke semua penjuru bisnis. ''Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa?'' katanya kepada majalah TEMPO, media massa Indonesia pertama yang mewawancarainya, Maret 1984.
Kelompok ini juga mengaku tidak selamanya bernasib mujur. ''Dihitung-hitung, ada sekitar sepuluh perusahaan yang kami tutup, karena kalah bersaing,'' ujar Anthony Salim, nomor dua dari empat putra Liem -- yang sering disebut-sebut sebagai ''putra mahkota''. Paling tidak terdapat sekitar 37 perusahaan yang bernaung di bawah SEDC.
Selain dikenal sebagai ''raja bank'', kelompok Liem juga disebut-sebut sebagai satu di antara ''raja semen'' di dunia. Dalam setiap usaha patungan, kelompok ini selalu menonjol sebagai pemilik saham terbesar. Dan langkah itu bukannya tanpa pertimbangan. Dengan memiliki 51% saham perusahaan Hagemeier di Belanda, misalnya, ''Kami bisa menentukan policy perusahaan,'' kata Liem. ''Juga supaya bisa mengawasi ekspor dari Indonesia, misalnya hasil bumi.''
Sejak 1982, gebrakan kelompok Liem di luar negeri semakin mantap. Ia membeli, antara lain, 80% saham Hibernia Banchares, San Francisco, disusul 54,4% saham Shanghai Land Investment. Tetapi, Maret 1986, ia tersandung dalam usaha penanaman modal di Provinsi Fujian, RRC, bekas daerah kelahirannya.
Di kawasan itu, di sebuah desa peternakan tiram di Teluk Meizhou, terdapat proyek pengilangan minyak senilai US$ 800 juta. Usaha ini merupakan patungan antara China Fujian Petroleum Co., China Petrochemical International Corp., Fujian Investment & Enterprise Ltd., dan China Pacific Petroleum Ltd. Perusahaan terakhir ini, menurut surat kabar The Asian Wall Street Journal, didaftarkan di Liberia, dan ''dikontrol oleh Mr. Liem''.
Sayang, usaha patungan itu terkatung-katung, paling tidak sudah setahun. Konon, pihak RRC terlalu banyak menuntut. Mereka juga, yang memang kurang berpengalaman dalam menyelenggarakan bisnis patungan, bingung oleh melonjaknya harga barang-barang impor yang dibutuhkan kilang minyak tersebut. Pihak Liem sendiri, menurut koran tersebut, tidak begitu ambil pusing dan siap-siap menarik diri.
Menjelang usia 70, taipan yang juga sering dipanggil sebagai ''Oom Liem'' ini mengaku tidak lagi bekerja terlalu keras. ''Setiap hari saya masuk kantor jam sepuluh pagi, lalu terima tamu,'' katanya. Ia tidak merokok, juga tidak menjamah minuman keras. Kegemarannya terbatas: jogging tujuh kilometer setiap pagi, dan, kabarnya, mengunjungi klub malam. ''Saya juga sudah jarang sekali teken cek,'' katanya.
Lalu, siapa yang akan menggantikan tahta si Oom? ''Semua anak sama,'' katanya. ''Yang perlu di sini teamwork. Yang bilang Anton bakal ganti saya itu orang luar.'' Ia, memang, seperti lebih menekankan perlunya tenaga profesional. Hal ini tampak, antara lain, pada keterlibatan Liem memelopori dan menangani beberapa lembaga pendidikan, misalnya Yayasan Tarumanegara dan Prasetiya Mulya.
Profil dan Kisah Sukses : Liem Sioe Liong / Sudono Salim sang pendiri INDOFOOD dan BCA
diterbitkan oleh : http://www.kaskuser.tk
KOTAK KOMENTAR
|