Jika sepakbola hanya permainan di atas kertas, sudah tentu Die Nationalelf akan memenangi pertandingan. Tetapi, sejarah sepakbola selalu diseraki dengan dekonstruksi data-data statistik. Yunani, sang David, bukan tak mungkin akan mengusir Jerman dari tanah kelahiran Giovanni Paolo II itu.
Tetapi, sebentar, mari kita bicara tentang sesuatu di luar sepakbola. Mari menengok sebentar berita krisis ekonomi Eropa beberapa bulan lalu, di mana Yunani menjadi salah satu negara yang bisa dibilang tengah menuju jurang degradasi.
Yunani kolaps karena krisis tersebut, jika tak dapat dikatakan tengah koma. Sendi perekonomian mereka luluh lantak. Satu dari lima orang di Yunani adalah pengangguran, dan satu dari dua orang hidup di bawah garis kemiskinan.
Karena hal tersebut, gelombang insureksi marak terjadi. Chaos sudah tak dapat dicegah. Pemerintah diburu dan dicaci karena tak memiliki tanggung jawab. Ratusan orang minggat dari ‘Negeri Seribu Dewa’ tersebut. Inilah masa eksodus terbesar sepanjang sejarah Yunani jika dihitung dari masa Upper Paleolithic. Nasionalisme saat itu adalah sampah.
Dan prediksi paling buruk pun terbit: Yunani sebagai negara akan hancur tak sampai dalam hitungan lima tahun.
Hingga datanglah Jerman. Sebagai negara besar dengan kondisi perekonomian yang nyaris selalu stabil setiap tahun, krisis kapitalisme Eropa seperti tak berpengaruh bagi tanah Hitler tersebut. Karena hal tersebut, Jerman lantas memberi titah kepada Yunani dalam sebuah perdebatan panas di gedung parlemen Uni Eropa di Brussel: berhemat atau investasi bakal dicabut.
Yunani, suka tidak suka, menurut dengan titah tersebut. Evaluasi nasional lalu dilakukan guna memangkas anggaran publik, anggaran pendidikan dan layanan kesehatan. Mereka hanya mampu menggerutu meski Angela Merkel, kanselir perempuan Jerman itu, memberi pernyataan menohok: Yunani dihuni oleh orang-orang malas yang tak mengerti bagaimana cara mengatur keuangan.
Jerman memang dikenal memiliki stabilitas ekonomi yang luar biasa dalam berbagai aspek. Pun di sepakbola. Financial Fair Play pun hadir setelah UEFA melihat sekaligus meneliti bagaimana orang-orang Bavaria itu mengelola kompetisi domestiknya, klubnya, tim nasionalnya.
Tercatat lebih dari 100 juta Dollar Jerman berinvestasi guna melakukan evolusi untuk pembinaan usia dini sepanjang satu dekade. Hasilnya: Juergen Klinsmann mempertontonkan kepada dunia bagaimana Jerman bukan lagi tim yang dingin, kaku, pragmatis saat Piala Dunia 2006. Mereka ternyata juga bisa bermain cantik dan menghibur.
Evolusi mereka berhasil. Meski belum ada satu piala pun yang mampir, tetapi kepandaian Jerman membaca gejala "ekonomi", di mana sepakbola global kini menuntut permainan menyerang nan indah, kembali teruji.
Meski demikian, kita melupakan satu hal: entitas. Jerman bukanlah negara yang dikenal taat pada nilai-nilai multikulturalisme. Jerman tak pernah benar-benar intim dengan prinsip egalitet seperti, katakanlah, Prancis.
Sejarah Jerman adalah sejarah fasisme dan rasisme yang berdarah-darah.
Akhir tahun 2011 Merkel bahkan pernah melontarkan pernyataan bahwa proyek multikulturalisme di Eropa telah gagal. Dia juga yang bersikeras untuk memulangkan imigran Yunani yang datang ke Jerman karena negeri asal para imigran tersebut tengah lempung akibat krisis ekonomi.
Merkel sepertinya tak paham darimana Sami Kheidira, Mesut Ozil, Jerome Boateng, Lukasz Podolski, Miroslav Klose, dan Cacau berasal. Merkel juga sepertinya tak sadar bahwa investasi bernilai lebih 100 juta dollar Jerman untuk evolusi pembinaan usia dininya ternyata segendang-sepenarian dengan proyek multikulturalisme yang ia tentang.
Di luar bagaimana kuatnya Jerman, dan bagaimana kontradiksi mereka di lain sisi, ingatan saya tertuju pada 36 tahun lalu, saat dimana Cekoslowakia lewat Antonin Panenka memperkenalkan kepada dunia ternyata ada cara lain untuk menendang penalti.
Saat dimana tropi Henry Delaunay berhasil diraih negara komunisme tersebut setelah mengalahkan tim terbaik Jerman yang pernah ada. Dunia terkejut, kapitalisme bergeming. Kejuaraan mereka dikotori oleh sekelompok orang dari negeri pemuja Marxisme.
Kalau tak salah, itu Piala Eropa 1976. Dan Yunani bisa saja mengingat cerita Panenka dkk tersebut sebagai peletup semangat sebelum menghadapi Jerman dini hari nanti.
Lagi pula, bukannya pada Piala Eropa 2004 mereka jadi kampiun?
sumber :http://sport.detik.com/pialaeropa/read/2012/06/22/152123/1948395/1380/kontradiksi-jerman-kejutan-yunani
Catatan Piala Eropa : Kontradiksi Jerman, Kejutan Yunani
diterbitkan oleh : http://www.kaskuser.tk
KOTAK KOMENTAR
|