Jauh sebelum ribuan mahasiswa menduduki kubah hijau Gedung DPR/MPR pada 1998, ternyata puluhan mahasiswa Bandung telah melakukan 10 tahun sebelumnya. Membentangkan spanduk bertuliskan 'Tangan Besi Bukan Sarana Demokrasi', mereka melawan kediktatoran rezim Soeharto kala itu.

Ada di antara mereka mahasiswa Teknik Sipil ITB, Hotasi Nababan yang dikemudian hari menjabat Dirut Merpati. "Waktu itu kami masuknya sistem sel. 5 orang masuk dulu, lalu 5 orang lagi setelah itu mengumpul di dalam area DPR/MPR," kisah Hotasi kepada detikcom, Rabu (25/7/2012).

Usai berkumpul mereka langsung membentangkan spanduk ukuran 1,5 m x 5 m, tepat di tangga menuju kubah. Siapa nyana, momen tersebut diabadikan oleh aparat intelijen lewat sebuah foto. Para mahasiswa ini pun tidak ada yang tahu jika aksi mereka difoto oleh telik sandi negara tersebut.

"Kami semua membentangkan spanduk itu pada ketakutan. Tidak sampai 10 menit. Bagaimana tidak takut, saat itu militer masih berkuasa dimana-mana," ujar mantan Ketua Himpunan Jurusan Mahasiswa Teknik Sipil ITB ini.

Foto aksi dalam rangka memprotes tindakan represif aparat keamanan terhadap pengunjuk rasa di Makassar pada 1988 ini pun terkunci rapat di meja telik sandi. Seiring rezim Soeharto tumbang, foto ini pun tersebar luas.

"Saat aksi 1988 itu tidak ada yang berani membawa kamera. Kami juga baru tahu kalau ada foto itu pada tahun 1998, usai Soeharto lengser. Entah siapa yang menyebar foto itu, " tutur alumnus SMA Pangudi Luhur 1983 ini.

Usai membentangkan spanduk mereka lalu menemui Wakil Ketua DPR/MPR, Letjen Saiful Sulun. Sebelumnya mereka telah berusaha menemui fraksi lainnya tetapi tidak ada yang berani menerima mereka. Ikut dalam rombongan aksi tersebut Pramono Anung yang kini jadi Wakil Ketua DPR dari PDIP.

"Hanya Fraksi TNI yang berani menemui kami," kenang Hotasi sambil tersenyum.

Selepas lulus dari ITB, dia mendapat beasiswa kuliah di Massachusetts of Technology, Boston, Amerika Serikat. Selepas kuliah di negeri Paman Sam, dia berkarier di Garuda Indonesia sebelum akhirnya pindah ke General Electric South Pasific dengan karier tertinggi sebagai Presiden Direktur GE Locomotif Asia Pasific. Hingga datang era 1998, dia menggalang dukungan di balik layar lewat Solidaritas Profesional untuk Reformasi (SPUR) yang mendukung aksi mahasiswa.

Kenangan 24 tahun tersebut kini membuatnya tersentak. Sebab jika dulu dia turun aksi menurunkan rezim dan membangun demokrasi tetapi kini dia malah dijerumuskan rezim. Pasal yang dijeratnya tidak main-main, korupsi.

"Saya tidak takut dipenjara. Tapi jangan penjarakan saya dengan pasal korupsi, " kata Hotasi dengan nada tinggi.

Penolakan ini karena dia merupakan aktivis anti korupsi sejak zaman Soeharto. Sayangnya, pasca reformasi senjata anti korupsi telah disalahgunakan oleh pihak yang ingin mengail ikan di air keruh.

"Semangat pemberantasan korupsi di negeri ini bagaikan pedang bermata dua. Di tangan aparat penegak hukum yang profesional dan punya integritas, pedang itu akan membantu membersihakan korupsi. Tapi di tangan penegak hukum yang lancung, pedang itu justru akan menebas korban-korban yang sebenarnya tidak berdosa," tulis Hotasi dalam pembukaan buku 'Jangan Pidanakan Perdata-Menggugat Sewa Pesawat Merpati'.

Seperti diketahui, sebelumnya Kejaksaan Agung menetapkan Hotasi tersangka. Di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Hotasi melakukan tindak pidana korupsi terkait penambahan 2 unit pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 pada 2006 silam.

Saat itu Hotasi menjabat Dirut Merpati yang melakukan sewa 2 pesawat dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) dengan syarat Refundable Security Deposit (RSD) sebesar US$ 1 juta. Namun di tengah perjalanan, sewa menyewa ini gagal karena TALG ingkar janji.

Merpati pun membawa kasus ini di Pengadilan Distrik Columbia, Washington dan pengadilan setempat memenangkan Merpati dan menghukum TALG mengembalikan US$ 1 juta ditambah bunga dan biaya pengacara. Belum selesai ditagih, Hotasi keburu dicopot dari posisinya. Saat ini Dirut Merpati Rudy Setyopurnomo mengejar kembali uang tersebut.

Fakta hukum dalam ranah perdata ternyata berbeda di mata jaksa yaitu dengan mendudukan Hotasi sebagai tersangka. Padahal Mabes Polri dan KPK telah menyatakan sewa menyewa ini tidak ada indikasi korupsi sama sekali.

Kini kasus tersebut masih bergulir. Hotasi rencananya Kamis (26/7/2012) besok akan mendengarkan putusan sela majelis hakim Pengadilan Tipikor. Hotasi saat ini menjadi tahanan kota yang akan habis masa berlakunya esok hari.